Konflik israel dan Palestina tidak terlepas dari intervensi barat paska Perang Dunia ke-II. Kala itu, Inggris yang tengah menjajah Palestina merestui berdirinya negara yahudi di tanah Palestina pada tanggal 2 November 1917. Restu ini sebagai bentuk dukungan dan simpati terhadap pembantaian dan pengusiran kaum yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Usai dideklarasikan berdirinya negara Israel, mulailah konflik antara bangsa Arab dengan bangsa yahudi. Dimulai dari perang Arab-Israel 1948, dilanjutkan dengan perang 1967 dan perang Yom Kippur 1973. Efek dari perang itu, wilayah Palestina sedikit demi sedikit diambi alih oleh Israel. Israel pun terus melakukan tekanan terhadap Palestina melalui blokade dan pembuatan tapal batas serta pemukiman yahudi. Tak jarang aksi provokatif juga diperlihatkan Israel melalui situs-situs peninggalan kebudayaan Islam di Masjidil Aqhsa.
Sudah tak terhitung berapa nyawa yang hilang sebagai akibat dari agresi Israel terhadap negara yang tak berdaya. Perundingan nampak hanya menghabiskan waktu tanpa menghasilkan kemajuan signifikan terhadap kondisi rakyat Palestina. PBB sebagai perserikatan bangsa-bangsa sedunia yang seharusnya , mampu memberikan solusidanmengatasi permasalahan tersebut hanya bisamampu mengecam tanpa ada usaha real dalam menyelesaikan konflik Israel yang di support oleh Negara adidaya.
Permasalahan yang ada di negeri Yerusalem tersebut mencakup banyak aspek. Mulai dari kependudukan, pembangunan, pemukiman, politik dan yang pokok adalah masalah teologis. Anggota tim legal Kuala Lumpur Foundation to Criminalize War mengatakan bahwa ICJ, Penagadilan Internasional PBB telah menyatakan Israel tidak berhak atas Tepi Barat dan Gaza, hal tersebut sudah tercantum dalam resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai konflik Palestina-Israel .
Hal kedua yang harus diselesaikan adalah masalah pendudukan dan pembangunan. Nizam mengatakan ICJ telah menyatakan pendudukan Israel bertentangan dengan hukum internasional. Akibatnya, segala konstruksi juga ilegal. Masalah utama lainnya yakni status kota suci Yerusalem. Israel telah lama mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibukota mereka. "ICJ tidak berpendapat seperti itu," ujar Nizam. Sementara itu Wakil Kepala Pusat Riset dan Informasi Israel-Palestina, Gershon Baskin, mengatakan segala permasalahan dapat diselesaikan dengan solusi dua negara.
Tayangan CNN menggambarkan reruntuhan banyak rumah publik, termasuk rumah ibadah, dan masyarakat sipil yang terbunuh dan luka-luka. Seorang ibu, seperti ditayangkan CNN, menangis karena anaknya tewas tertembak tanpa ada pertolongan. Tayangan CNN ini menunjukkan, Israel sudah melampaui self defense dan respon terhadap conduct of hostilities di luar batas proporsionalitas. Dengan jumlah korban meninggal lebih dari 500 orang serta ribuan orang terluka serta hancurnya rumah-rumah penduduk, kiranya Israel bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan perang, sekaligus kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlu dicatat, Israel dengan persenjataan superior, berperang melawan Hamas yang persenjataannya kalah jauh. Jadi, serangan Israel adalah terencana, sistematis, dan meluas (massive).
Serangan Israel terhadap Palestina bisa disebut pelanggaran terhadap The Hague Conventions dan The Geneva Conventions sejauh terkait conduct of war dan serangan terhadap warga sipil. Serangan Israel juga dapat dikategorikan pelanggaran terhadap Statuta Roma. Pertanyaannya, mengapa dunia tak berdaya? Mengapa Dewan Keamanan PBB tak bisa menghentikan perang yang membunuh banyak warga sipil?
Dari perspektif HAM, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama oleh PBB yang menurut Piagam PBB bertujuan memelihara keamanan dan perdamaian internasional. Untuk itu PBB wajib melakukan semua tindakan yang menghentikan semua ancaman keamanan dan perdamaian. PBB tidak melakukan hal ini atau belum melakukan hal ini. Kedua, yang disebut humanitarian intervention bisa dilakukan untuk membantu korban warga sipil tak berdosa. Ini belum dilakukan. Kewajiban internasional yang disebut responsibility to protect pernah dilakukan di Bosnia, Rwanda, tetapi terlambat sehingga khawatir pelaksanaan kewajiban internasional ini juga akan terlambat.
Serangan brutal Israel ke Gaza pada dasarnya adalah genosida, pembantaian terhadap suatu bangsa. Indikasi genosida ini jelas. Semua mata di dunia ini bisa melihatnya dengan jelas.
1. Serangan brutal dan tidak pandang bulu, sehingga korban mayoritas adalah warga sipil.
2. Target utama adalah anak-anak dan wanita. Anak-anak dianggap akan meneruskan generasi Palestina dan bila wanita dihabisi otomatis akan memutus mata rantai reproduksi warga Palestina.
3. Rumah sakit jadi sasaran serangan. Hal ini jelas untuk menghabisi mereka yang masih hidup.
4. Israel menggunakan bom fosfor putih. Ini adalah salah satu bentuk pemusnahan manusia secara masal.
5. Israel menggunakan manusia sebagai tameng terhadap serangan Hamas.
6. Israel sengaja mengumpulkan warga sipil di sebuah rumah kemudian dibombardir.
7. Israel membombardir masjid tatkala kaum muslim Gaza sedang sholat jum’at.
Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter. Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang. Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah (1) untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil dan (2) untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut. Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya, baik selama kurang-lebih enam dasawarsa di Palestina maupun kini di Libanon. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, melanggar HAM, mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin “Just War”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar